Logo RISMA

Logo RISMA

Rabu, 12 Oktober 2011

Abu Nawas


Hampir semua orang mengenal nama Abu Nawas. Namun di negeri kita, sosok tersebut telanjur dianggap sebagai pelawak. Mungkin hal itu akibat pengaruh buku "Hikayat Abu Nawas" saduran Nur Sutan Iskandar, terbitan Balai Pustaka, yang menjadi bacaan wajib murid-murid sekolah sejak tahun 1930-an hingga 1950-an.

Padahal Abu Nawasadalah Abu Ali al-Hasan bin Hani al-Hakami. Lahir tahun 145 H (747 M ) di kota Ahvaz di Persia (sekarang Iran), dari ayah Arab dan ibu Persia. Ayahnya, Hani al-Hakam, merupakan anggota legiun militer Marwan II. Sementara ibunya bernama Jalban, wanita Persia yang bekerja sebagai pencuci kain wol. Sejak kecil ia sudah yatim. Sang ibu kemudian membawanya ke Bashrah, Irak.

Di kota inilah Abu Nawas belajar berbagai ilmu pengetahuan.
Masa mudanya penuh kontroversi. Hal ini membuat dia tampil sebagai tokoh unik dalam khazanah sastra Arab Islam. Sajak-sajaknya juga sarat dengan nilai sprirtual, di samping cita rasa kemanusiaan dan keadilan. Ia menimba ilmu sastra Arab dari Abu Zaid al-Anshari dan Abu Ubaidah. Ia juga belajar Al-Quran dari Ya’qub al-Hadrami. Ilmu Hadis ia pelajari dari Abu Walid bin Ziyad, Muktamir bin Sulaiman, Yahya bin Said al-Qattan, dan Azhar bin Sa’ad as-Samman.

Pertemuannya dengan penyair dari Kufah, Walibah bin Habab al-Asadi, telah memperhalus gaya bahasanya dan membawanya ke puncak kesusastraan Arab. Walibah sangat tertarik pada bakat Abu Nawas yang kemudian membawanya kembali ke Ahwaz, lalu ke Kufah. Di Kufah bakat Abu Nawas digembleng. Ahmar menyuruh Abu Nawas berdiam di pedalaman, hidup bersama orang-orang Arab Badui untuk memperdalam dan memperhalus bahasa Arab.

Kemudian ia pindah ke Baghdad. Di pusat peradaban Dinasti Abbasyiah inilah ia berkumpul dengan para penyair. Berkat kehebatannya menulis puisi, Abu Nawas dapat berkenalan dengan para bangsawan. Namun karena kedekatannya dengan para bangsawan inilah puisi-puisinya pada masa itu berubah, yakni cenderung memuja dan menjilat penguasa.

Kegemarannya bermain kata-kata dengan selera humor yang tinggi seakan menjadi legenda tersendiri dalam khazanah peradaban dunia. Kedekatannya dengan kekuasaan juga pernah menjerumuskannya ke dalam penjara. Pasalnya, suatu ketika Abu Nawas membaca puisi Kafilah Bani Mudhar yang dianggap menyinggung Khalifah. Tentu saja Khalifah murka, lantas memenjarakannya. Setelah bebas, ia berpaling dari Khalifah dan mengabdi kepada Perdana Menteri Barmak. Ia meninggalkan Baghdad setelah keluarga Barmak jatuh pada tahun 803 M.

Setelah itu ia pergi ke Mesir dan menggubah puisi untuk Gubernur Mesir, Khasib bin Abdul Hamid al-Ajami. Tetapi, ia kembali lagi ke Baghdad setelah Harun al-Rasyid meninggal dan digantikan oleh Al-Amin.

Namun menjelang usia tua, ia berubah total. Menjadi tekun beribadah dan rendah hati (tawadlu). Dari beberapa anekdot yang dihimpun para pengamat puisi Abu Nawas, terungkap, kesadaran (al yakhzah) diri Abu Nawas tergugah pada suatu malam "Qadar" (Lailatulkadar).

Abu Nuwas merasa dirinya sebagai lalat. Bahkan lebih hina dina. Ia sadar, tahun-tahun kehidupannya tidak membawa manfaat sebagaimana garam memberi kesedapan. Justru ia terus-terusan merusak, merusak dan merusak. Padahal merusak dilarang keras oleh Allah SWT. jangan engkau berbuat kerusakan di muka bumi,karena Allah tidak mencintai orang yang berbuat kerusakan(Alquran Surah Al Qashash ayat 77).

Sejak peristiwa "Malam Qadar" itu, Abu Nawas, mengganti syair-syair dengan zikir. Memindahkan malam-malamnya dari kafe, bar atau pub, ke masjid. Ia tidak ingin lagi menjadi lalat. Biar tak jadi apa-apa, asal tidak membawa kerusakan bagi dirinya dan orang lain.

Salah satu puisi karya terakhir Abu Nawas, sebuah puisi religius :

Ilahi lastu lilfirdausi ahla,
walaa aqwa 'ala naaril jahiimi
Fahabli taubatan waghfir dzunubi,
fainaka ghafirudz- dzanbil 'adzimi....

Ya Allah ... tidak layak aku masuk ke dalam sorga-Mu
tetapi hamba tiada kuat menerima siksa neraka-Mu
Maka kami mohon taubat dan mohon ampun atas dosaku
sesungguhnya Engkau Maha Pengampun atas dosa-dosa....

Dzunubi mitslu a'daadir- rimali,
fahabli taubatan ya Dzal Jalaali,
Wa 'umri naqishu fi kulli yaumi,
wa dzanbi zaaidun kaifa -htimali

Dosa-dosaku seperti butiran pasir di pantai,
maka anegerahilah hamba taubat, wahai Yang Memiliki Keagungan
Dan umur hamba berkurang setiap hari,
sementara dosa-dosa hamba selalu bertambah, apalah dayaku

Ilahi 'abdukal 'aashi ataak,
muqirran bi dzunubi wa qad di'aaka
fain taghfir fa anta lidzaka ahlun,
wain tadrud faman narju siwaaka


Ya Allah... hamba-Mu penuh maksyiat,
datang kepada-Mu bersimpuh memohon ampunan,
Jika Engkau ampuni memang Engkau adalah Pemilik Ampunan,
Tetapi jika Engkau tolak maka kepada siapa lagi aku berharap?

Puisi-puisi Abu Nawas bersama kisah hidupnya, ditulis antara lain oleh Mustafa Abdur Razak, dalam buku "Abu Nawas, Hayatuhu wa Sya'iruhu" (1981). Dikenal di dunia Barat setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman oleh A.von Kremer "Diwan des Abu Nuwas Grossten Lyrischen Dichters der Araber" (1806).

Abu Nawas mungkin salah satu contoh manusia yang mendapat barakah "Lailatul Qadar". Malam yang lebih baik daripada seribu bulan.

Mengenai tahun meningalnya, banyak versi yang saling berbeda. Ada yang menyebutkan tahun 190 H/806 M, ada pula yang 195H/810 M, atau 196 H/811 M. Sementara yang lain tahun 198 H/813 M dan tahun 199 H/814 M. Konon Abu Nawas meninggal karena dianiaya oleh seseorang yang disuruh oleh keluarga Nawbakhti – yang menaruh dendam kepadanya. Ia dimakamkan di Syunizi di jantung Kota Baghdad.

[+/-] Selengkapnya...

SEJARAH

SEJARAH HIDUP ABU HURAIRAH

‘Abdurrahman bin Shakhr Al-Azdi, yang lebih dikenal dengan panggilan Abu Hurairah, adalah seorang Sahabat Nabi yang terkenal dan merupakan periwayat hadits yang paling banyak disebutkan dalam isnad-nya oleh kaum Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Abu Hurairah berasal dari kabilah Bani Daus dari Yaman. Beliau diperkirakan lahir 21 tahun sebelum hijrah, dan sejak kecil sudah menjadi yatim. Nama aslinya pada masa jahiliyah adalah Abdusy-Syams (hamba matahari) dan ia dipanggil sebagai Abu Hurairah (ayah/pemilik kucing) karena suka merawat dan memelihara kucing. Ketika mudanya ia bekerja pada Basrah binti Ghazawan, yang kemudian setelah masuk Islam dinikahinya.

Menjadi Muslim

Thufail bin Amr, seorang pemimpin Bani Daus, kembali ke kampungnya setelah bertemu dengan Nabi Muhammad dan menjadi muslim. Ia menyerukan untuk masuk Islam, dan Abu Hurairah segera menyatakan ketertarikannya meskipun sebagian besar kaumnya saat itu menolak. Ketika Abu Hurairah pergi bersama Thufail bin Amr menemui Nabi, Nabi Muhammad mengubah nama Abu Hurairah menjadi Abdurrahman (hamba dari Yang Maha Pengasih). Abu Hurairah pernah meminta Nabi untuk mendoakan agar ibunya masuk Islam, yang akhirnya terjadi. Beliau selalu menyertai Nabi Muhammad sampai dengan wafatnya Nabi.

Akrab dengan Kelaparan

Shahabat yang satu ini biasa berpuasa sunah tiga hari setiap awal bulan Qamariah, mengisi malam harinya dengan membaca Al-Quran dan shalat tahajjud. Beliau sering mengikatkan batu ke perutnya, guna menahan lapar.

Abu Hurairah pernah berkata, “Aku sudah dengar pergunjingan kalian. Kata kalian, Abu Hurairah terlalu banyak meriwayatkan hadis Nabi. Padahal, para sahabat muhajirin dan anshar sendiri tak ada yang meriwayatkan hadis Nabi sebanyak yang dituturkan Abu Hurairah. Ketahuilah, saudara-saudaraku dari kaum muhajirin disibukkan dengan perniagaan mereka di pasar. Sementara saudara-saudaraku dari anshar disibukkan dengan kegiatan pertanian mereka. Dan aku seorang papa, termasuk golongan kaum miskin shuffah (yang tinggal di pondokan masjid). Aku tinggal dekat Nabi untuk mengisi perutku. Aku hadir (di samping Nabi) ketika mereka tidak ada, dan aku selalu mengingat-ingat ketika mereka melupakan.”

Abu Hurairah adalah shahabat yang sangat dekat dengan Nabi. Ia dikenal sebagai salah seorang ahli shuffah, yaitu orang-orang papa yang tinggal di pondokan masjid (pondokan ini juga diperuntukkan buat para musafir yang kemalaman). Begitu dekatnya dengan Nabi, sehingga beliau selalu memanggil Abu Hurairah untuk mengumpulkan ahli shuffah, jika ada makanan yang hendak dibagikan.

Karena kedekatannya itu, Nabi pernah mempercayainya menjaga gudang penyimpan hasil zakat. Suatu malam seseorang mengendap-endap hendak mencuri, tertangkap basah oleh Abu Hurairah. Orang itu sudah hendak dibawa ke Rasulullah. “Ampun tuan, kasihani saya,” pencuri itu memelas. “Saya mencuri ini untuk menghidupi keluarga saya yang kelaparan.

Abu Hurairah tersentuh hatinya, maka dilepasnya pencuri itu. “Baik, tapi jangan kamu ulangi perbuatanmu ini.”

Esoknya hal ini dilaporkan kepada Nabi. Nabi tersenyum. “Lihat saja, nanti malam pasti ia kembali.”

Benar pula, malam harinya pencuri itu datang lagi. “Nah, sekarang kamu tidak akan kulepas lagi.” Sekali lagi, orang itu memelas, hingga Abu Hurairah tersentuh hatinya. Tapi, ketika hal itu dilaporkan kepada Nabi, kembali beliau mengatakan hal yang sama. “Lihat saja, orang itu akan kembali nanti malam.”

Ternyata pencuri itu benar-benar kembali. “Apa pun yang kamu katakan, jangan harap kamu bisa bebas. Sudah dua kali kulepas, kamu tak kapok-kapok juga.”

Pencuri itu malah menggurui. “Abu Hurairah, sebelum kamu tidur, bacalah ayat kursi agar setan tidak menyatroni kamu.”

Merasa mendapat pelajaran berharga, Abu Hurairah terharu. Ah, ternyata orang baik-baik, pikirnya.

“Apa yang dikatakan orang itu memang benar,” sabda Nabi ketika dilapori pagi harinya. “Tapi orang itu bukan orang baik-baik. Dia adalah setan. Dia katakan itu supaya dia kamu bebaskan.”

Menikah

Meski Abu Hurairah seorang papa, boleh dibilang tuna wisma, salah seorang majikannya yang lumayan kaya menikahkan putrinya, Bisrah binti Gazwan, dengan beliau. Majikannya tak melihat kaya atau miskin, majikan atau buruh. Abu Hurairah dipandang mulia karena kealiman dan keshalihannya. Perilaku Islami telah memuliakannya, lebih dari kemuliaan pada masa jahiliah yang memandang kebangsawanan dan kekayaan sebagai ukuran kemuliaan.

Sejak menikah, Abu Hurairah membagi malamnya atas tiga bagian: untuk membaca Al-Quran, untuk tidur dan keluarga, dan untuk mengulang-ulang hadits. Beliau dan keluarganya meskipun kemudian menjadi orang berada tetap hidup sederhana. Beliau suka bershadaqah, menjamu tamu, bahkan menyedekahkan rumahnya di Madinah untuk pembantu-pembantunya.

Tugas penting pernah diembannya dari Rasulullah. Yaitu ketika beliau bersama Al-Ala ibn Abdillah Al-Hadrami diutus berdakwah ke Bahrain. Belakangan, ia juga bersama Quddamah diutus menarik jizyah (pajak) ke Bahrain, sambil membawa surat ke Amir Al-Munzir ibn Sawa At-Tamimi.

Menolak Jabatan

Ketika Umar menjadi amirul mukminin, Abu Hurairah diangkat menjadi gubernur Bahrain. Tetapi pada 23 Hijriyah, Umar memecatnya karena sang gubernur kedapatan menyimpan banyak uang (menurut satu versi, sampai 10.000 dinar). Dalam proses pengusutan, ia mengemukakan bahwa harta itu diperolehnya dari beternak kuda dan pemberian orang. Khalifah menerima penjelasan itu dan memaafkannya. Lalu ia diminta menduduki jabatan gubernur lagi, tapi beliau menolak. Penolakan itu diiringi lima alasan. “Aku takut berkata tanpa pengetahuan; aku takut memutuskan perkara bertentangan dengan hukum (syari’at); aku tidak mau dicambuk; aku tak mau harta benda hasil jerih payahku disita; dan aku takut nama baikku tercemar.” Beliau memilih tinggal di Madinah, menjadi warga biasa yang memperlihatkan kesetiaan kepada Umar, dan para pemimpin sesudahnya.

Tatkala kediaman Amirul Mukminin Ustman ibn Affan dikepung pemberontak, dalam peristiwa yang dikenal sebagai al-fitnatul kubra (bencana besar), Abu Hurairah bersama 700 orang Muhajirin dan Anshar tampil mengawal rumah tersebut. Meski dalam posisi siap tempur, Khalifah melarang pengikut setianya itu memerangi kaum pemberontak. Pada masa Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib, Abu Hurairah ditawari menjadi gubernur. Namun beliau menolak dan lebih memilih menjadi warga biasa.

Perawi Hadits

Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabulkan doa Rasulullah agar Abu Hurairah dianugrahi hafalan yang kuat. Beliau memang paling banyak hafalannya di antara para shahabat lainnya.

Imam Syafi’i berkata, “Abu Hurairah adalah orang yang paling kuat hafalannya di antara periwayat hadits di masanya.”

Imam Bukhari pernah berkata, “Tercatat lebih dari 800 orang perawi hadits dari kalangan sahabat dan tabi’in yang meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah.”

Abu Hurairah adalah sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits dari Nabi Muhammad, yaitu sebanyak 5.374 hadits. Diantara yang meriwayatkan hadist darinya adalah Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Anas bin Malik, Jabir bin Abdullah, dan lain-lain.

Marwan bin Hakam pernah menguji tingkat hafalan Abu Hurairah terhadap hadits Nabi. Marwan memintanya untuk menyebutkan beberapa hadits, dan sekretaris Marwan mencatatnya. Setahun kemudian, Marwan memanggilnya lagi dan Abu Hurairah pun menyebutkan semua hadits yang pernah ia sampaikan tahun sebelumnya, tanpa tertinggal satu huruf, dan urutannya pun benar.

Wafat

Di Kota Penuh Cahaya (Al-Madinatul Munawwarah), beliau mengembuskan nafas terakhir pada 57 atau 58 H dalam usia 78 tahun. Meninggalkan warisan yang sangat berharga, yakni hadis-hadis Nabi, bak butiran-butiran ratna mutu manikam.

[+/-] Selengkapnya...